UJIAN NASIONAL
(Pertarungan antara Kejujuran dan Kecurangan)
Oleh : FARID YULIYADI
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah proses memanusiakan
manusia, dengan mengaktualisasikan seluruh potensi manusia menjadi kemampuan yang dapat digunakan dalam
kehidupan bermasyarakat. Pendidikan merupakan proses pemberdayaan siswa (student empowerment), sehingga mereka memiliki kemampuan fisik
manual, intelektual, dan emosional (Suderadjat, 2005). Arti pendidikan sangat
penting dalam kehidupan kita, baik dalam kehidupan individu, bangsa maupun
negara. Oleh karena itu pendidikan harus dilaksanakan sebaik-sebaiknya,
sehingga sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Tujuan pendidikan nasional adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seluruhnya yaitu
manusia yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang maha Esa dan berbudi pekerti
yang luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani
serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa. Sebagai
investasi bangsa, maka pendidikan perlu dikelola secara baik dan terpadu dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan.
Peningkatan kualitas pendidikan di
setiap satuan pendidikan, diarahkan pada upaya terselenggaranya layanan
pendidikan yang terjangkau oleh masyarakat dan berkualitas. Untuk mengetahui
kualitas pendidikan disetiap satuan pendidikan dapat dilakukan dengan
menyelenggarakan penilaian terhadap hasil belajar siswa.
Hasil belajar siswa adalah tingkat
penguasaan suatu pengetahuan yang dicapai oleh siswa dalam mengikuti program
pembelajaran sesuai dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil belajar siswa dapat digolongkan menjadi dua yaitu :
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang
berasal dari dalam diri siswa itu sendiri dan faktor eksternal adalah
faktor-faktor yang bersumber dari luar diri siswa, misalnya faktor lingkungan , baik lingkungan keluarga ,
sekolah , maupun masyarakat.
Penilaian hasil belajar oleh pemerintah
bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata
pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan
dilakukan dalam bentuk Ujian Nasional (UN). Hasil Ujian Nasional (UN) digunakan
sebagai salah satu pertimbangan untuk :
a. Pemetaan mutu program dan/atau satuan
pendidikan,
b. Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan
berikutnya,
c. Penentuan kelulusan peserta didik dari
program dan/atau satuan pendidikan, d.pembinaan dan pemberian bantuan kepada
satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan (Depdiknas,
2007)
Ujian nasional yang diselenggarakan
oleh pemerintah menjadi sebuah polemik di dunia pendidikan. Sebagian sependapat
namun banyak pula yang tidak sependapat. Ujian Nasional memiliki dampak negatif
dan positif, dampak positif dari UN adalah dapat digunakan untuk pemetaan dan
pemerataan dalam penyelenggarakan pendidikan, di mana di seluruh pelosok
Indonesia memiliki standar yang sama dalam hal pendidikan. Yaitu terlihat dari
pemberian soal yang sama di semua sekolah dari kota sampai kepelosok.
Namun dampak negatif dari UN dapat
menyebabkan kerusakan moral bagi dunia pendidikan. Sehingga dalam
pelaksanaannya menjadi ujian bagi komponen yang terlibat dalam sistem
pendidikan, dapat dikatakan pelaksanaan ujian dapat menjadi pertarungan antara
kejujuran dan kecurangan.
B. Permasalahan
1. Pro dan kontra diadakannya Ujian
Nasional di Indonesia
2. Ujian Nasional “pertarungan antara
kejujuran dan kecurangan”
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pro dan kontra
diadakannya Ujian Nasional di Indonesia
2. Untuk mengetahui apakah kejujuran dan
kecurangan dipertaruhkan dalam pelaksanaan Ujian Nasional.
D. Pembahasan
Pro dan Kontra Ujian
Nasional di Indonesia
Ujian Nasional (UN) merupakan salah
satu sumber penyebab kecemasan pada siswa. Menurut sebagian siswa, Ujian
Nasional adalah proses biasa yang wajib
dilalui oleh siswa kelas XII, namun bagi sebagian yang lain Ujian Nasional bisa
menjadi momok yang terus menghantui dan menjadi mimpi buruk. Marantika (2003)
menyatakan bahwa ujian Ujian Nasional merupakan alat untuk mengukur seberapa
jauh penguasaan siswa atas materi pelajaran yang telah dipelajari selama kurun
waktu tertentu. Namun dalam pelaksanaannya, Ujian Nasional dirasa sangat
memberatkan siswa karena beberapa hal antara lain standar yang tinggi dan materi yang bertambah.
Rahe dan Holmes mengatakan bahwa masa
awal dan akhir sekolah dapat menjadi suatu peristiwa kehidupan yang dapat mengaktifkan kecemasan dalam diri
seseorang. Davidoff (1991) lebih lanjut menyatakan siswa yang penuh kecemasan
seringkali mengungkapkan bahwa pada saat ujian mereka seolah-olah tidak dapat
mengingat pelajaran apapun yang telah dipelajari sebelumnya. Individu dengan taraf kecemasan yang hebat
akan cenderung gagal dalam menghadapi kesulitan atau menghadap soal tes yang
ambigu, dengan demikian individu tersebut akan merasa tertekan terutama ketika
menghadapi ujian yang menentukan. Hal ini memungkinkan siswa yang cemas
menghasilkan prestasi yang buruk di sekolah.
Ujian Nasional (UN) sendiri, menurut
definisi Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) merupakan “kegiatan
pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang
pendidikan menengah” (BSNP, 2008). Hasil
UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu satuan
dan/atau program pendidikan; dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan dan
pembinaan serta pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan (BSNP, 2008).
Dalam perjalanannya, penyelenggaraan
Ujian Nasional telah menimbulkan kontroversi, lebih-lebih setelah Mahkamah
Agung (MA) mengeluarkan putusan yang melarang pelaksanaan Ujian Nasional, namun
putusan tersebut tidak menyurutkan langkah Pemerintah untuk tetap melanjutkan
pelaksanaannya. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bersikeras
menyelenggarakan Ujian Nasional 2010 dengan dasar Peraturan Pemerintah Nomor
19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan serta Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (Permendiknas) Nomor 75/2009 tentang Ujian Nasional SMU dan SMP,
dengan pertimbangan bahwa dalam penerapannya, evaluasi dan perbaikan
penyelenggaraan Ujian Nasional akan dilakukan setiap tahun.
Kontroversi penyelenggaraan Ujian
Nasional (UN) di SMP dan SMA masih terus berlanjut. Kedua belah pihak,
pemerintah dan anggota masyarakat, tetap berpegang pada argumentasinya
masing-masing. Bahkan pemerintah telah menetapkan UN terus dilaksanakan mulai
dari tingkat SD. Para siswa merasa tertekan dan cemas yang berlebihan takut
tidak lulus; para orang tua merasa khawatir dengan nasib dan masa depan
anaknya; para praktisi pendidikan merasakan penyelenggaran UN menimbulkan
diskriminasi terhadap sejumlah mata pelajaran; para pengamat dan akademisi
menilai UN tidak sesuai dengan prinsip-prinsip evaluasi pendidikan dan
mengesampingkan aspek pedagogik dalam pendidikan.
Pro kontra dalam Ujian Nasional
terjadi disebabkan rasa kecewa masyarakat yang menilai pemerintah tidak
konsisten, karena dengan Ujian Nasional tetap dijadikan sebagai factor penentu
kelulusan siswa ketimbang sarana pemetaan standar mutu pendididkan di
Indonesia.
Dari tahun ke tahun standar kelulusan terus meningkat belum diimbangi dengan pemerataan fasilitas pendidikan di beberapa daerah secara tidak langsung membuat siswa mengalami kesulitan untuk memenuhi target yang ada. Sehingga tidak sedikit siswa terpaksa harus mengulang, disebabkan nilainya kurang memenuhi standar.
Dari tahun ke tahun standar kelulusan terus meningkat belum diimbangi dengan pemerataan fasilitas pendidikan di beberapa daerah secara tidak langsung membuat siswa mengalami kesulitan untuk memenuhi target yang ada. Sehingga tidak sedikit siswa terpaksa harus mengulang, disebabkan nilainya kurang memenuhi standar.
Angka kelulusan dalam Ujian Nasional
ditetapkan sejak tahun 2004 lalu, tingkat SMP/MTS, SMA/MA, dan SMK yaitu nilai
rata-rata pada Ujian Nasional sebesar 4,0. tahun 2005 menjadi 4,25, tahun 2006
4,50, tahun 2007 naik menjadi 5,0, tahun 2008 sebesar 5,25 dan tahun 2009 angka
kelulusan Ujian Nasional yakni 5,5.
Angka kelulusan siswa terus dinaikkan
dari tahun ke tahun berikutnya, tidak akan menjadi persoalan jika hasil
evaluasi Ujian Nasional diumumkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
ditindaklanjuti dengan memberikan perlakuan khusus bagi daerah-daerah yang
diketahui dari hasil Ujian Nasional tersebut memiliki nilai kelulusan rata-rata
rendah.
Gerakan adanya penolakan terhadap pelaksanaan Ujian Nasional secara gencar berlangsung sejak lima tahun terakhir seiring munculnya kebijakan pemerintah untuk menjadikan evaluasi tahap akhir siswa yang sebelumnya sempat diserahkan kepada pihak sekolah kembali diberlakukan secara nasional.
Berbagai upaya dilakukan untuk menolak pelaksanaan Ujian Nasional sebagai standar kelulusan nasional, diantaranya gugatan warga negaranya sendiri.
Gerakan adanya penolakan terhadap pelaksanaan Ujian Nasional secara gencar berlangsung sejak lima tahun terakhir seiring munculnya kebijakan pemerintah untuk menjadikan evaluasi tahap akhir siswa yang sebelumnya sempat diserahkan kepada pihak sekolah kembali diberlakukan secara nasional.
Berbagai upaya dilakukan untuk menolak pelaksanaan Ujian Nasional sebagai standar kelulusan nasional, diantaranya gugatan warga negaranya sendiri.
Kejujuran Kontra Kecurangan
Kantor berita Antara pernah
memberitakan sebuah hasil penelitian tentang UN di Gorontalo. Ditemukan bahwa
angka Kelulusan Berbanding Terbalik dengan angka Kejujuran. Misalkan angka
kelulusan 90%, maka angka kejujurannya adalah 100% - 90% = 10%, begitu pun
sebaliknya.
Menyimak kasus ini, mungkin saja
kejadiannya tidak hanya terjadi di Gorontalo, tetapi sudah merambah ke seluruh
pelosok tanah air Indonesia.
Semasa kurikulum 1987 dan 1994, Ujian
Nasional lebih dikenal dengan istilah EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir
Nasional). Nilai akhir kemudian dirilis dan dicetak yang saat itu dikenal
dengan nama NEM (Nilai Ebtanas Murni). Saat itu jarang terdengar ada kasus
kecurangan UN dan banyaknya kunci jawaban yang beredar. Apalagi ada “cara-cara
siluman” untuk meluluskan siswanya.
Saat itu setiap siswa sangat bangga
dengan nilai NEM-nya, karena nilai itu benar-benar mewakili kemampuan siswa,
tanpa dibantu oleh gurunya, apalagi mengharapkan atau membeli kunci jawaban
seperti yang santer beredar seperti sekarang ini. Efek positifnya, semua
sekolah di jenjang yang lebih tinggi akan mempercayai angka pada NEM itu, lalu
langsung digunakan sebagai syarat seleksi siswa baru. Tidak seperti sekarang
ini, hampir semua SMP dan SMA masih menggunakan Tes Tertulis atau dipadukan
dengan Nilai SKHUN. Itu artinya, sekolah di level yang lebih tinggi (misalkan
SMA/MA) tidak begitu saja percaya pada hasil UN pada level di bawahnya (level
SMP/MTs).
Dari data di atas menguatkan bahwa
Ujian Nasional bukanlah solusi yang tepat untuk mengukur kemampuan dan
kelulusan siswa . dengan adanya Ujian Nasional membuka peluang bagi para oknum
yang ingin merusak moral bangsa. Dengan kata lain dalam pelaksanaan Ujian
Nasional kejujuran dan kecurangan dipertaruhkan.
Seperti dikutip dalam Koran Seputar
Indonesia pada tahun 2010, Pelaksanaan
Ujian Nasional (UN) SMP sederajat di DKI Jakarta, diwarnai dengan beredarnya
pesan singkat atau short messages service (SMS) kunci jawaban palsu.
Selain di Jakarta terdapat kecurangan
yang cukup mencengangkan yang pernah menjadi topik utama pada tahun 2011 dihampir
semua stasiun televisi yaitu tentang contek masal yang dilakukan oleh siswa SD
Negeri Gadel 2 Surabaya. Dalam hal ini, seorang
siswa peserta UN bernama Alif Ahmad Maulana bersama kedua orang tuanya, Siami
dan Widodo, melaporkan kepada pihak berwajib bahwa anaknya, Alif Ahmad Maulana,
diminta oleh gurunya untuk memberikan kunci jawaban kepada teman-temannya. Alif
diminta melakukan itu karena ia dianggap sebagai siswa yang paling pintar di
antara siswa lainnya.
Perbuatan Alif membantu teman-temannya,
sebagai bentuk ketaatannya kepada guru, ternyata selalu menghantui perasaannya
karena hal itu bertentangan dengan nilai-nilai yang selama ini diajarkan oleh
orang tuanya.
Kejujuran Alif dan kedua orang tuanya
itu ternyata membuat heboh dunia pendidikan secara nasional. Masyarakat yang
bersentuhan langsung dengan kasus ini berpendapat bahwa laporan Alif dan kedua
orang tuanya ke polisi itu sebagai sesuatu yang tidak benar. Oleh karena itu,
masyarakat mengusir mereka dari desa tempat tinggalnya.
Agaknya, masyarakat lebih berpihak
kepada ketidakjujuran daripada kejujuran. Bahkan, petinggi di Kementerian
Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) pun turut
pula membela masyarakat dengan memberi pernyataan bahwa tidak ada contek massal
di SDN Gadel 2 Surabaya. Padahal teori umum mengatakan bahwa seseorang yang
masih berada pada masa anak-anak akan sulit berbohong, karena ia cenderung
untuk selalu mengatakan sesuatu sesuai dengan kenyataan yang dilihat dan
dialaminya.
Persoalan contek massal ini, selain
merenggut korban juga menghadirkan penghargaan. Korban yang dicopot dari jabatannya
adalah Kepala Sekolah. Sedangkan, dua orang guru kelas VI SDN Gadel 2 Surabaya
dimutasi ke tempat lain. Akan tetapi, Alif dan kedua orang tuanya, selain
menjadi korban dengan terusir dari tempat tinggalnya, juga menuai penghargaan
berupa "Kejujuran Award".
Sebenarnya sangat miris melihat
kenyataan yang ada dalam dunia pendidikan saat ini bila dikaitkan dengan
pelaksanaan Ujian Nasional. Para peserta didik yang tujuan utamanya belajar
guna mendapatkan ilmu malah hanya belajar untuk mengejar kelulusan dengan
berbagai cara instan. Guru yang mempunyai tugas mentransfer ilmu kepada peserta
didik juga terkadang menghadapi dilema.
Di satu sisi, para guru berkeinginan
untuk selalu berjalan di atas koridor moral sebagai teladan bagi peserta
didiknya, tetapi di sisi lain, mereka juga mempunyai beban moral untuk harus
membuat para peserta didiknya lulus sebagai indikator keberhasilan mereka dalam
mengajar.
Itulah sebabnya, tidak sedikit guru dan
bahkan kepala sekolah yang harus berurusan dengan polisi karena perbuatan
melawan hukum yang mereka lakukan. Kasus di beberapa sekolah menunjukkan bahwa
guru, terutama untuk mata pelajaran yang di-UN-kan, memberikan kunci jawaban
kepada peserta didik dengan berbagai modus.
Sering kali akal sehat para pendidik
yang lebih dikenal dengan istilah guru (disebut demikian karena ia digugu dan
ditiru) itu tidak fungsional dan rasional lagi, sehingga mereka akhirnya
melakukan hal-hal yang semestinya tidak boleh dilakukan, karena akan mencederai
dunia pendidikan itu sendiri. Negara tidak boleh tertipu oleh kesemuan hasil
UN.
Jika UN dilakukan dengan jujur dan
hasil yang diperoleh peserta didik tidak mencapai kriteria kelulusan minimal,
maka negara mestinya mengevaluasi fakta tersebut dan melakukan pembenahan
terhadap faktor-faktor penyebabnya, seperti rendahnya sumber daya guru,
minimnya fasilitas sekolah, dan terjepitnya dana pendidikan bagi
sekolah-sekolah pinggiran
E. Kesimpulan
1. Dalam penyelenggaraan Ujian Nasional
masih terjadi Pro dan Kontra meski pelaksanaannya sudah beberapa tahun. Hal ini
disebabkan oleh ketidaksepahaman antara pemikiran pemerintah dengan masyarakat
dan komponen pendidikan.
2. Dalam pelaksanaan Ujian Nasional
ternyata menjadi tantangan tersendiri bagi unsur-unsur pendidikan untuk menjaga
moral dan martabat, mulai dari kepala sekolah, guru, orang tua murid dan
peserta didik, jika tidak maka kecurangan akan mengalahkan kejujuran yang
dampaknya akan menurunkan mutu bagi pendidikan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP). 2008. Prosedur Operasi Standar (POS) Ujian Nasional
(UN) Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) Tahun Pelajaran 2008/2009.
Jakarta:Dinas Pendidikan Nasional.
Davidoff., L. L. 1991. Psikologi Suatu Pengantar. Edisi Kedua.
Alih Bahasa: Mari Juniati. Jakarta : Erlangga.
Departemen Pendidikan
Nasional 2007
Marantika, L. 2003. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar.
Bandung: Rosda Karya.
Suderadjat, Hari. 2005. Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Implementasi
KBK. Bandung: Cipta Cekas Grafika.
sip
ReplyDelete